Selasa, 26 April 2011

ilmu pengetahuan agama dan akhlak

KATA PENGANTAR
           
            Puji syukur kehadirat allah swt atas segala rahmat dan hidayahnya, serta diberikan kesehatan dan keselamatan bagi kani karena hingga saat ini kami sudah dapat menyusun tugas dari  mata kuliah MPAI II, sehingga kami dapat mengerjakan Tugas makalah dengan judul perpaduan ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak .
            Tugas yang kami buat ini menjelaskan tentang ilmu agama dan akhlak yang nantinya semoga dapat dipahami oleh rekan-rekan sekalian dan dapat mengambil manfaat yang terbaik dalam penyusunan makalah ini, Selama proses penyelesaian makalah ini kami ingin menyampaikan banyak ungkapan terima kasih kepada para sahabat yang telah mendukung kami, juga kepada teman-teman yang telah banyak membantu kami, baik dari segi materi maupun moriil, selain itu tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah MPAI II yang telah banyak memberi masukan dan informasi yang bermanfaat.
            kami menyadari sepenuhnya bahwa isi, bentuk, serta susunan kalimat yang digunakan masih sangat jauh dari sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasan dan minimnya pengetahuan maupun pengalaman kami. Maka dari itu kami harapkan saran dari pembaca guna melengkapi dan menyempurnakan isi makalah ini.
            Akhirnya saya ucapkan doa kepada allah swt semoga tugas yang kami kerjakan ini dapat bermanfaat.



Binjai,      Maret 2011


                                                                                                            Penulis


                                                                                          

i

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………

Ilmu Pengetahuan Dengan Agama Dan Akhlak…………………………………………..

1.      Akal Yang berarti “kecerdasan”……………………………………………………

2.      Akal yang berarti “pengertian”……………………………………………………..

3.      Akal yang berarti “pengetahuan”…………………………………………………..

4.      Akal yang berarti “ma’rifah”………………………………………………………

Pengertian Akhlak………………………………………………………………………….

Ciri Perbuatan Akhlak……………………………………………………………………..

Ruang lingkup Kajian Ilmu Akhlak………………………………………………………..

Manfaat mempelajari Ilmu Akhlak…………………………………………………………

Agama dan Akhlak [II]……………………………………………………………………

2. Pandangan Ustad Misbah Yazdi: Hubungan Organik Akhlak dan Agama……………...

Kesimpulan…………………………………………………………………………………

Daftar pustaka………………………………………………………………………………

 

 

 

 



ii

Ilmu Pengetahuan Dengan Agama dan Akhlak

Perpaduan ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak dikonsepkan oleh Al Ghazali sebagi al ma’rifah. Al Ghazali menerangkan jalan menuju ma’rifah sebagai kerinduan rohani untuk mengenal Tuhan dengan hati nurani melalui tingkat-tingkat ilmu pengetahuan. Al ma’rifah menjadi tingkat yang tertinggi di dalam pengetahuan dan kesadaran rohani manusia terhadap Tuhan.
Al Ghazali mengemukakan hubungan yang erat dan tak terpatahkan antara ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak. Hubungan inilah yang sedang dicari kembali dalan dunia ilmu pengetahuan modern terutama dalam bahasan mengenai islamisasi ilmu pengetahuan. Mengingat adanya kebutuhan kembali pada agama karena perkembangan jiwa manusia yang semakin lama semakin memprihatinkan, bahasan mengenai mengenal Tuhan lewat ilmu pengetahuan adalah tema yang penting. Manusia modern dinilai telah sangat rasional. Maka, ilmu pengetahuan sudah selayaknya menjadi jalan utama mengenal Tuhan, untuk menjadi insan kamil atau manusia yang sempurna.

Al Ghazali mengemukakan adanya empat tingkatan akal manusia. Empat akal tersebut antara lain:
  1. Akal yang berarti “kecerdasan”. Akal dimiliki oleh setiap manusia yang membedakan dia dengan hewan dan makhluk lainnya. Makna akal inilah yang secara umum dipakai oleh orang kebanyakan. Akal inilah yang dibawa oleh manusia sejak lahirnya sebagai modal pokok untuk hidup.
  2. Akal yang berarti “pengertian”. Akal ini mulai tumbuh pada manusia setelah akalnya yang pertama mulai berjalan dan berkembang sejak ia kanak-kanak sampai menjadi orang dewasa. Akal inilah yang telah mengerti akan benar dan salah, baik dan buruk, tercela maupun terpuji.
  3. Akal yang berarti “pengetahuan”. Akal ini timbul karena pengajaran dan pengalaman di mana seorang manusia telah menyelidiki dan mempelajari segala
                                                                                                                                                       1
sesuatu dengan seksama. Akal inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan seperti yang kita saksikan saat ini.                                                                                       
  1. Akal yang berarti “ma’rifah”. Akal ini merupakan puncak dari segala tingkatan akal, yaitu keinsyafan rohani manusia yang menyadari akibat sesuatu dan yang membawanya kepada keluhuran budi dan akhlak, serta memimpinnya pada Tuhan yang setinggi-tingginya. Akal inilah yang mencerminkan perpaduan antara ilmu pengetahuan dengan agama dan akhlak.

Tingkatan akal ini kemudian digambarkan oleh Dr. M. Musthafa Helmi dalam pembagian manusia dalam tiga tingkatan, yaitu:
  1. Iman kaum awam, yaitu kepercayaan (keagamaan) orang-orang yang hanya berdasarkan kepada keterangan-keterangan yang diberikan oleh orang lain, bukan hasil penyelidikannya sendiri.
  2. Iman kaum ulama, yaitu kepercayaan yang timbul dari hasil penyelidikan ilmu pengetahuan, dan inilah golongan ahli-ahli pengetahuan.
  3. Iman kaum arifin, yaitu kepercayaan yang memancar dari keyakina orang yang ruhaninya terbuka kepada Tuhan dan memegang teguh moral dan akhlak.
Konsep tentang ma’rifah menjadi dasar penjelasan Al Ghazali dalam teorinya tentang “ilmu pengetahuan yang sejati”. Ia mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan tanpa amal adalah gila, sedangkan amal tanpa ilmu adalah tidak sah. Ilmu pengetahuan semata-mata tidak menjauhkan dari berbuat dosa dan kejahatan, dan tidak pula mendekatkan kepada perbuatan taat dan kebaikan sewaktu hidup di dunia. Sedangkan untuk akhirat, ilmu itu tidak sanggup membebaskan manusia dari hukuman neraka.
Al Ghazali menegaskan bahwa seseorang yang telah mencapai tingkat arifin atau ma’rifah adalah mereka yang menyatupadukan ilmu pengetahuan dengan keimanan (agama), sehingga mereka memiliki hasrat untuk beramal dengan sesungguhnya dan
2
mewujudkan pendidikan akhlak.                                                                                               Di dalam ma’rifah memancar niat yang ikhlas dan kemauan yang kuat, yang menjadi pokok pangkal bagi amal dan akhlak. Orang-orang yang demikian:
  1. Pertama kali akan tergambar di dalam cara berpikirnya.
  2. Kemudian mereka memiliki hasrat untuk menghadiri majelis-majelis pengajian.
  3. Mereka bergaul dengan orang baik-baik.
  4. Mereka merundingkan segala sesuatu dengan musyawarah.
  5. Kemudian dalam diri mereka terbentuk amal-amal yang baik dan akhlak yang tinggi.
Untuk mencapai hakikat ma’rifah ini, Al Ghazali mengemukakan adanya lima macam timbangan yang dianjurkan untuk digunakan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya untuk mencerdaskan dan memperkuat iman. Kelima tiimbangan itu yaitu:
  1. Perbandingan yang besar (akbar) yang didasarkan pada pemikiran dan ilmu pengetahuan.
  2. Perbandingan yang menengah (awsath) yang didasarkan kepada pengalaman.
  3. Perbandingan yang kecil (ashgar) yang didasarkan kepada panca indera.
  4. Timbangan kemestian (talazum) yang didasarkan kepada suatu kebenaran yang dapat ditimbulkan oleh intuisi.
  5. Timbangan pertentangan (ta’arudh) yang didasarkan pada pertentangan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk menimbulkan kebenaran (sintesa).
Dalam kelima rangka tersebut, dibuka kesempatan yang sangat luas untuk menggunakan pikiran dan contoh-contoh perbandingan, dan kepatuhan kepada pemimpin. Dalam hal ini, sumber pikiran tertinggi adalah Al Quran dan pemimpin yang harus ditaati adalah Nabi Muhammad SAW yang manjadi contoh amal dan akhlak yang utama.

*Tulisan ini merupakan ringkasan buku “Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al Gazali” karya H. Zainal Abidin Ahmad (1975).
                                                                                                                                              3
Pengertian Akhlak:                                                                                 
• Secara bahasa akhlak berasal dari kata اخلق – يخلق – اخلاقا artinya perangai, kebiasaan, watak, peradaban yang baik, agama. Kata akhlak sama dengan kata khuluq. Dasarnya adalah:
1. QS. Al- Qalam: 4: وانك لعلى خلق عظيم
2. QS. Asy-Syu’ara: 137: ان هذا الا خلق الاولين
3. Hadis :انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق
• Menurut Istilah, akhlak adalah:
1. Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran danpertimbangan.
2. Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Ciri Perbuatan Akhlak:
1. Tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2. Dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
3. Timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4. Dilakukan dengan sungguh-sungguh.
5. Dilakukan dengan ikhlas.
Ruang lingkup Kajian Ilmu Akhlak:
@ Perbuatan-perbuatan manusia menurut ukuran baik dan buruk.
@ Objeknya adalah norma atau penilaian terhadap perbuatan tersebut.
@ Perbuatan tersebut baik perbuatan individu maupun kolektif.
Manfaat mempelajari Ilmu Akhlak:
1. Menetapkan criteria perbuatan yang baik dan buruk.
2. Membersihkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.
3. Mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia.                              4
4. Memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau buruk.

Agama dan Akhlak [II]

Komprehensi-komprehensi yang digunakan dalam akhlak seperti "baik", "buruk", "harus", "tidak boleh", "benar", "tidak benar", "tugas", dan "tanggung jawab", semuanya merupakan komprehensi-komprehensi khusus yang mempunyai makna dan pengertian masing-masing. Pemahaman-pemahaman nilai ini memiliki paedah dalam penggunaannya ketika mempunyai basis dan landasan ontologis, sehingga jika seseorang melanggar nilai-nilai akhlak, ia akan merasakan konsekuensi dari pelanggarannya dalam bentuk penderitaan atau kepedihan hidup serta jauh dari kebahagiaan.
Fitrah manusia dan pengajaran yang didapatkannya dari agama, dapat menjadi penjamin atas pengamalan dan perealisasian perbuatan-perbuatan akhlak. Pahala dan balasan, dengan tidak melihat wilayah aktualitasnya, mempunyai dampak atas perealisasian nilai-nilai akhlak di tengah masyarakat apatah lagi dengan adanya sangsi-sangsi sosial seperti pujian terhadap pelaku akhlak baik dan celaan terhadap para pelaku akhlak buruk. Namun yang paling urgen dalam masalah ini adalah keberadaan Tuhan yang menjadi asumsi dan postulat agama yang dapat menjadi penjamin utama bagi pelaksanaan perbuatan-perbuatan akhlak baik dan pengaman ampuh untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan akhlak buruk.
    Sangat banyak dari komprehensi-komprehensi agama bisa berpengaruh dalam masalah-masalah akhlak. Misalnya, ketika kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang diperintahkan Tuhan, di sini kita membawa keberadaan Tuhan secara langsung dalam masalah akhlak. Tetapi terkadang kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang menjamin kebahagiaan abadi manusia maka di sini kita tidak berbicara secara langsung tentang Tuhan, tetapi salah satu dari doktrin lain agama; yakni kita menerima postulat tentang kehidupan abadi manusia. Yakni kita menerima secara
5
yakin bahwa manusia setelah mati dan meninggalkan alam materi ini, ia akan melewati kehidupan lain yang abadi dan lestari, dan di sana ia akan mendapatkan pahala kebahagiaan atau balasan kesengsaraan.
     Berkenaan dengan komprehensi agama dan komprehensi akhlak serta hubungan keduanya telah kita bahas dalam tulisan sebelumnya, dimana dalam hal ini penentuan ukuran akhlak akan berpengaruh dalam memberi tinjauan dan konklusi tentangnya. Dengan pengertian bahwa jika akhlak berdasarkan prinsip manfaat atau prinsip kelezatan atau berdasarkan prinsip sosial masyarakat atau prinsip akal praktik ('amali), dalam konteks ini mungkin akhlak dengan agama diasumsikan tidak mempunyai hubungan sama sekali atau hubungan keduanya hanya dalam bentuk pondasi bagi yang lainnya; dan jika parameter permasalahan-permasalahan akhlak adalah kedekatan dengan Tuhan, dengan meninjau ketiadaan pengetahuan kita terhadap "qurbah" dan "maqâm" Tuhan maka hubungan antara akhlak dan agama merupakan hubungan proposisi dan kandungan.
    Dalam tulisan sebelumnya juga telah dipaparkan secara singkat beberapa teori dan pandangan pemikir Barat berkenaan masalah ini. Sekarang dalam tulisan kedua ini kami akan paparkan beberapa teori dan pandangan dari ulama dan pemikir Muslim tentang hubungan akhlak dengan agama serta mengungkapkan teori yang menjadi pilihan kami.

2. Pandangan Ustad Misbah Yazdi: Hubungan Organik Akhlak dan Agama

Ustad Misbah Yazdi, dalam kitab "Filsafat Akhlak", secara detail memasuki pembahasan hubungan gama dan akhlak. Ringkasan pandangannya antara lain berikut ini: Baik dan buruk akhlak, pada kenyataannya menjelaskan adanya hubungan antara perbuatan ikhtiar manusia dan natijah-natijah akhir dari itu dan kita dapat memahami bahwa perbuatan itu adalah baik ataukah buruk. Jika suatu perbuatan mempunyai hubungan positif dengan kesempurnaan akhir kita maka itu adalah baik dan jika hubungannya negatif maka itu adalah buruk.
6

Pada dasarnya, pandangan ini tidak diambil dari satupun keyakinan agama; yakni kemestian penerimaan pandangan ini tidak memestikan penerimaan wujud Tuhan atau  hari kiamat dan atau perintah-perintah agama. Akan tetapi dalam masalah apakah kesempurnaan akhir itu? Dan bagaimana dapat disingkap hubungan antara perbuatan dan kesempurnaan akhir? Di sinilah timbul hubungan antara akhlak dengan agama.
Oleh karena itu, jika kita hanya meninjau prinsip asli dari pandangan ini maka kita tidak berakhir pada agama; akan tetapi ketika kita ingin memberi bentuk khusus dan tertentu tentang apa yang merupakan akhlak baik dan apa yang merupakan akhlak buruk, dalam hal ini akan mendapatkan hubungan dengan ushul agama dan kandungan wahyu serta kenabian. Ketika kita ingin menentukan kesempurnaan akhir manusia, kita terpaksa mengutarakan permasalahan Tuhan sehingga kita dapat menetapkan bahwa kesempurnaan akhir manusia adalah qurbah (dekat) pada Tuhan. Pada konteks inilah pandangan ini mendapatkan hubungan dengan keyakinan agama. Demikian pula untuk menentukan perbuatan-perbuatan baik dan hubungannya dengan kesempurnaan akhir manusia, harus kita tinjau masalah keabadian jiwa sehingga jika mendapatkan perbedaan dengan sebagian dari kesempurnaan-kesempurnaan materi serta bertentangan dengannya, kita dapat melebihkan salah satu di antara mereka dan berkata bahwa perbuatan X adalah buruk; bukan dikarenakan kita tidak mampu meraih kesempurnaan materi; akan tetapi dikarenakan bertentangan dengan salah satu dari kesempurnaan-kesempurnaan ukhrawi; maka dari itu harus juga ada keyakinan terhadap ma'âd (eskatalogi).
Di samping itu, apa yang dapat kita dapatkan dengan perantara akal dari hubungan antara perbuatan dan kesempurnaan akhir, satu seri pemahaman-pemahaman universal yang mana pemahaman-pemahaman ini, tidak seberapa berguna untuk menentukan mashâdiq (contoh-contoh) perintah akhlak. Misalnya kita memahami bahwa keadilan adalah baik atau menyembah Tuhan adalah baik; akan tetapi dalam permasalahan bahwa adil dalam setiap masalah meniscayakan apa dan bagaimana bertindak adil dalam setiap
7
permasalahan, tidak jelas dalam banyak masalah serta akal dengan sendirinya tidak dapat menentukannya.                                                                                                                                        Sebagai asumsi, apakah dapat ditinjau dalam masyarakat hak-hak wanita dan laki-laki harus sama secara keseluruhan ataukah harus ada perbedaan-perbedaan di antara mereka? Ketika kita dapat menghukumi dengan adil suatu pandangan yang meliputi seluruh hubungan-hubungan perbuatan kita dengan tujuan dan natijah akhirnya, tetapi kita mengetahui bahwa pencakupan seperti ini tidak mungkin untuk akal biasa manusia; maka dari itu, agar kita dapat memperoleh mashâdiq (contoh-contoh) khusus perintah-perintah akhlak, kita tetap butuh kepada agama; artinya wahyulah yang akan menjelaskan perintah-perintah akhlak dalam setiap masalah khusus dengan batasan khususnya dan dengan syarat-syarat serta kemestian-kemestiannya, dan akal secara mandiri tidak dapat mengambil tanggung jawab ini. Oleh karena itu, pandangan kami juga dalam bentuk sempurnanya, butuh kepada prinsip-prinsip keyakinan agama (keyakinan pada Tuhan, Ma'ad dan Wahyu) dan juga dalam menentukan mashâdiq (contoh-contoh) kaidah akhlak butuh kepada kandungan wahyu dan perintah-perintah agama. Yang pasti sesuai dengan pandangan yang kami anggap benar, harus kami katakan bahwa akhlak tidak terpisah dari agama; tidak dari keyakinan-keyakinan agama dan tidak dari perintah-perintah agama. Dalam maqâm tsubût dan dalam maqâm itsbât, pandangan ini meyakini keberadaan hubungan akhlak dengan agama.






8
Kesimpulan :
Kalau kami perhatikan di jaman modern ini banyak orang berilmu tapi tidak bisa memanfaatkan ilmunya tersebut. Ilmu yang bermanfaat itu adalah dapat menyampaikan atau mengajarkan kepada orang lain supaya orang bisa menjadi tau dan mengerti terutama dibidang ilmu pengetahuan agama dan akhlak.Karena moralitas orang sekarang ini sudah mulai menipis,jadi dengan adanya masalah pendidikan ilmu agama dan akhlak ini dapat mendidik orang menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.

































9
DAFTAR PUSTAKA

Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al Gazali” karya H. Zainal Abidin Ahmad (1975),
Ustad Misbah Yazdi, dalam kitab "Filsafat Akhlak"
Googel
Drs.H.A.Mustofa akhlak tasawuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar